1. HUKUM, NEGARA DAN PEMERINTAH
A. HUKUM
Sukar kiranya untuk memberikan suatu definisi tentang hukum. Beberapa perumusan yang ada, masing-masing menonjolkan segi tertentu dari hukum. Di dalam bukunya "Pengantar Dalam Hukum Indonesia", Utrecht
memberikan batasan hukum sebagai himpunan
eraturan-peraturan (perintah-perintah atau larangan-larangan)
yang mengurus tata tertib dalam masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh
masyarakat itu.
Selain Utrecht beberapa Sarjana Hukum Indonesia lainnya telah pula merumuskan
definisi hukum. Di antaranya adalah JCT. Simorangkir SH. dan Woerjono
Sastropranoto SH. yang mendefinisikan hukum sebagai peraturanperaturan yang memaksa, yang menentukan tingkah
laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh Badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibat diambilnya tindakan, yaitu
dengan hukuman tertentu.
a) Ciri-ciri dan Sifat Hukum
a) Ciri-ciri dan Sifat Hukum
Agar dapat mengenal hukum lebih jelas, maka kita perlu mengenal ciri dan sifat dari
hukum itu sendiri.
Ciri hukum adalah
:
— adanya perintah atau larangan
— perintah atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang.
— perintah atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang.
Agar tata tertib dalam masyarakat dapat
dilaksanakan dan tetap terpelihara dengan baik, perlu ada peraturan yang mengantur dan memaksa tata tertib
itu untuk ditaati yang disebutkaidah
hukum. Dan kepada barangsiapa yang melanggar
baik disengaja atau tidak, dapat dikenai sangsi yang berupa hukuman.
Akan tetapi ternyata tidak setiap orang mau menaati kaidah hukum tersebut, oleh karena itu agar peraturan hidup itu
benar-benar dilaksanakan dan
ditaati, maka perlu dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian hukum
mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Sehingga hukum menjadi peraturan hidup yang dapat memaksa orang untuk
menaati serta dapat memberikan sangsi
tegas terhadap setiap orang yang tidak mau mematuhinya.
b) Sumber-sumber Hukum
b) Sumber-sumber Hukum
Ialah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang memaksa, yang kalau dilanggar dapat mengakibatkan sangsi yang tegas dan nyata. Sumber hukum dapat ditinjau dari
segi formal dan segi material.
Sumber hukum material dapat kita
tinjau lagi dari berbagai sudut, misalnya dari
sudut politik, sejarah, ekonomi dan lain-lain.
Sedangkan sumber hukum formal
antara lain ialah :
1) Undang-undang (Statute)
Ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuasaan hukum yang
mengikat, diadakan dan dipelihara
oleh penguasa negara;
2) Kebiasaan (Costum)
Ialah perbuatan
manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama dan diterima oleh masyarakat.
Sehingga tindakan yang berlawanan dianggap sebagai pelanggaran perasaan hukum.
3) Keputusan-keputusan hakim (Yurisprudensi)
Ialah keputusan hakim terdahulu
yang sering dijadikan dasar keputusan hakim kemudian mengenai masalah yang sama.
4) Traktat (Treaty)
Ialah
perjanjian antara dua orang atau lebih mengenai sesuatu hal, sehingga masing-masing pihak yang bersangkutan terikat
dengan isi perjanjian tersebut.
5) Pendapat Sarjana Hukum
Ialah pendapat para sarjana yang
sering dikutip para hakim dalam menyelesaikan suatu masalah.
c) Pembangian Hukum
1) Menurut "sumbernya" hukum dibagi dalam :
— Hukum Undang-undang, yaitu hukum yang
tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
— Hukum Kebiasaan, yaitu hukum yang terletak pada kebiasaan (adat).
— Hukum Kebiasaan, yaitu hukum yang terletak pada kebiasaan (adat).
— Hukum Traktat, ialah hukum yang
ditetapkan oleh negara-negara dalam suatu perjanjian antar negara.
— Hukum Yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.
2) Menurut "bentuknya" hukum dibagi dalam :
— Hukum tertulis, yang terbagi lagi atas :
— Hukum tertulis yang dikodifikasikan ialah hukum tertulis yang telah dibukukan jenis-jenisnya dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.
— Hukum tertulis tak dikodifikasikan.
— Hukum tak tertulis.
3) Menurut "tempat berlakunya" hukum dibagi dalam:
— Hukum Nasional ialah hukum dalam suatu negara.
— Hukum Internasional ialah hukum yang mengatur hubungan internasional.
— Hukum Asing ialah hukum dalam negara lain.
— Hukum gereja ialah norma gereja yang ditetapkan untuk anggotaanggotanya.
4) Menurut "waktu berlakunya" hukum dibagi dalam:
— Ius Constitutum (hukum positif) ialah hukum yang berlaku sekarang hagi suatu masy arakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
— Ius Constituendum ialah hukum yang diharapkan akan berlaku di waktu yang akan datang.
— Hukum Asasi (hukum alam) ialah hukum yang berlaku dalam segala bangsa di dunia.
5) Menurut "cara mempertahankannya" dibagi dalam :
— Hukum material ialah hukum yang memuat peraturan yang
mengatur kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan.
6) Menurut "sifatnya" hukum dibagi dalam :
— Hukum yang memaksa ialah hukum yang dalam keadaan
bagaimana harus dan mempunyai paksaan mutlak.
— Hukum yang mengatur (pelengkap) ialah hukum yang dapat dikesampingkan, apabila pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam perjanjian.
7) Menurut "wujudnya" hukum dibagi dalam :
— Hukum Obyektif ialah hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu
— Hukum Subyektif ialah hukum yang timbul dari hubungan
obyektif dan berlaku terhadap seseorang tertentu atau lebih. Kedua jenis hukum ini jarang digunakan.
8) Menurut "isinya" hukum dibagi dalam :
2) Menurut "bentuknya" hukum dibagi dalam :
— Hukum tertulis, yang terbagi lagi atas :
— Hukum tertulis yang dikodifikasikan ialah hukum tertulis yang telah dibukukan jenis-jenisnya dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.
— Hukum tertulis tak dikodifikasikan.
— Hukum tak tertulis.
3) Menurut "tempat berlakunya" hukum dibagi dalam:
— Hukum Nasional ialah hukum dalam suatu negara.
— Hukum Internasional ialah hukum yang mengatur hubungan internasional.
— Hukum Asing ialah hukum dalam negara lain.
— Hukum gereja ialah norma gereja yang ditetapkan untuk anggotaanggotanya.
4) Menurut "waktu berlakunya" hukum dibagi dalam:
— Ius Constitutum (hukum positif) ialah hukum yang berlaku sekarang hagi suatu masy arakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
— Ius Constituendum ialah hukum yang diharapkan akan berlaku di waktu yang akan datang.
— Hukum Asasi (hukum alam) ialah hukum yang berlaku dalam segala bangsa di dunia.
5) Menurut "cara mempertahankannya" dibagi dalam :
— Hukum material ialah hukum yang memuat peraturan yang
mengatur kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan.
6) Menurut "sifatnya" hukum dibagi dalam :
— Hukum yang memaksa ialah hukum yang dalam keadaan
bagaimana harus dan mempunyai paksaan mutlak.
— Hukum yang mengatur (pelengkap) ialah hukum yang dapat dikesampingkan, apabila pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam perjanjian.
7) Menurut "wujudnya" hukum dibagi dalam :
— Hukum Obyektif ialah hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu
— Hukum Subyektif ialah hukum yang timbul dari hubungan
obyektif dan berlaku terhadap seseorang tertentu atau lebih. Kedua jenis hukum ini jarang digunakan.
8) Menurut "isinya" hukum dibagi dalam :
— Hukum Privat (Hukum Sipil) ialah hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang
lainnya, dan menitik
beratkan pada kepentingan perseorangan.
— Hukum Publik (Hukum Negara) ialah hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alit perlengkapan
atau negara dengan warganegaranya.
Negara sebagai
organisasi dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua
golongan dan warganegaranya, serta menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di
mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh warga negara, golongan atau oleh negara sendiri. Oleh karena itu negara
mempunyai dua tugas pokok:
1) Mengatur dan mengendalikan gejala-gejala kekuasaan asosial, artinya bertentangan satu sama lain supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan.
2) Mengorganisi dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruh atau tujuan sosial.
Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan perantara pemerintah beserta lembaga-lembaganya. Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang teratur dan paling kuat, oleh karena itu semua golongan atau asosiasi yang memperjuangkan kekuasaan harus dapat menetapkan diri dalam rangka ini. Pentingnya sistem hukum ini sebagai perlindungan, bagi kepentingankepentingan yang telah melindungi kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan. Meskipun kaidah-kaidah tersebut ikut berusaha menyelenggarakan dan perlindungan kepentingan orang dalam masyarakat, tetapi belum cukup kuat untuk melindunginya mengingat terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur. Bahkan berarti kepentingan warga masyarakat tidak terpenuhi oleh kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan, tetapi tidak cukup terlindungi atau terjamin. Sebab mungkin saja terlaksana dengan kaidah tersebut, untuk melindungi lebih lanjut kepentingan yang telah dilindungi kaidah-kaidah tadi perlu sistem hukum. Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan nyata berlaku dalam masyarakat disebut hukum positif. Istilah hukum positif dimaksudkan untuk menandai "differentie" dan hukum terhadap kaidah-kaidah lain dalam masyarakat, tampil lebih jelas, tegas dan didukung oleh perlengkapan yang cukup agar diikuti anggota masyarakat. Sebagai atribut positif ini adalah: Pertama, bukanlah kaidah sosial yang mengambang atau tidak jelas bentuk dan tujuannya. Sehingga dibutuhkan lembaga khusus yang bertujuan merumuskan dengan jelas tujuan yang hendak dicapai oleh hukum. Kedua, dibutuhkan staf (personalia) yang menjaga berlakunya hukum, seperti posisi, kejaksaan dan pengadilan.
Sifat dan peraturan hukum tersebut adalah memaksa dan menghendaki tujuan yang lebih dalam, pengertian memaksa bukanlah senantiasa dipaksakan apabila tindakan sewenang-wenang. Sebab hukum itu sebagai kongkretisasi daripada sistem nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang perlu mempertimbangkan tiga hal yaitu : Sistem norma, sebagai sistem kontrol dan sebagai sistem engineering (pemegang kekuasaan memelopori proses pengkaidahannya). Sehingga hukum diartikan sebagai serumpunan peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk melindungi kepentingankepentingan orang dalam masyarakat.
Hukum tidak lain hanyalah merupakan sarana bagi pemerintah atas tangantangan yang berkuasa untuk mengerahkan cara berpikir dan bertindak dalam rangka kebijakan tujuan nasional. Dalam kediriannya secara intern tidak ada sangkut-paut dengan "kaidah" dan "kebenaran" dalam makna dan hakiki yang sebenarnya, dalam rangka konseptualisasi hukum selalu berpihak, selalu berwarna dan memang yang terpancangdalam kamus hukum hanya dirasakan dan dialami, bermakna dan berwujud relatif serta karakter dari sosial, budaya, struktural dan agama sekalipun. Agar masyarakat siap memakai hukum positif, perlu mempelajari manajemen hukum dan kultur hukum. Sebab sistem hukum terurai dalam tiga komponen yaitu : (1) Substansi, (2) Struktur dan (3) Kultur. Manajemen hukum memikirkan bagaimana mendayagunakan sumber daya dalam masyarakat untuk mengatur masyarakat melalui hukum. Kultur hukum adalah nilai dan sikap dalam masyarakat mengenai hukum.
Untuk menganalisa lebih tajam apa sebenarnya hukum, maknanya, peranannya, dampaknya dalam proses interaksi dalam masyarakat, perlu dipelajari 10 aspek penganalisa yaitu :
1) Jangan mengindentifikasikan "hukum" dengan "kebenaran keadilan".
2) Tidak dengan sendirinya harus adil dan benar.
3) Hukum tetap mengabdikan diri untuk menjamin kegiatan masa sistem dan bentuk pemerintahan.
4) Meskipun mengandung unsur keadilan atau kebaikan tidak selamanya disambut dengan tangan terbuka.
5) Hukum dapat diidentifikasikan dengan kekuatan atas kekuasaan.
6) Macam-macam hukum terlalu dipukulratakan.
7) Jangan apriori bahwa hukum adat lebih baik dari hukum tertulis.
8) Jangan mencampur-adukkan substansi hukum dengan cara atau proses sampai terbentuk dasar diundangkannya hukum.
9) Jangan mencampur-adukkan "law in activis" dengan "law in books" dari aparat penegak hukum.
10) Jangan inenganggap sama aspek terjang penegak hukum dengan hukum.
1) Mengatur dan mengendalikan gejala-gejala kekuasaan asosial, artinya bertentangan satu sama lain supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan.
2) Mengorganisi dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruh atau tujuan sosial.
Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan perantara pemerintah beserta lembaga-lembaganya. Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang teratur dan paling kuat, oleh karena itu semua golongan atau asosiasi yang memperjuangkan kekuasaan harus dapat menetapkan diri dalam rangka ini. Pentingnya sistem hukum ini sebagai perlindungan, bagi kepentingankepentingan yang telah melindungi kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan. Meskipun kaidah-kaidah tersebut ikut berusaha menyelenggarakan dan perlindungan kepentingan orang dalam masyarakat, tetapi belum cukup kuat untuk melindunginya mengingat terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur. Bahkan berarti kepentingan warga masyarakat tidak terpenuhi oleh kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan, tetapi tidak cukup terlindungi atau terjamin. Sebab mungkin saja terlaksana dengan kaidah tersebut, untuk melindungi lebih lanjut kepentingan yang telah dilindungi kaidah-kaidah tadi perlu sistem hukum. Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan nyata berlaku dalam masyarakat disebut hukum positif. Istilah hukum positif dimaksudkan untuk menandai "differentie" dan hukum terhadap kaidah-kaidah lain dalam masyarakat, tampil lebih jelas, tegas dan didukung oleh perlengkapan yang cukup agar diikuti anggota masyarakat. Sebagai atribut positif ini adalah: Pertama, bukanlah kaidah sosial yang mengambang atau tidak jelas bentuk dan tujuannya. Sehingga dibutuhkan lembaga khusus yang bertujuan merumuskan dengan jelas tujuan yang hendak dicapai oleh hukum. Kedua, dibutuhkan staf (personalia) yang menjaga berlakunya hukum, seperti posisi, kejaksaan dan pengadilan.
Sifat dan peraturan hukum tersebut adalah memaksa dan menghendaki tujuan yang lebih dalam, pengertian memaksa bukanlah senantiasa dipaksakan apabila tindakan sewenang-wenang. Sebab hukum itu sebagai kongkretisasi daripada sistem nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang perlu mempertimbangkan tiga hal yaitu : Sistem norma, sebagai sistem kontrol dan sebagai sistem engineering (pemegang kekuasaan memelopori proses pengkaidahannya). Sehingga hukum diartikan sebagai serumpunan peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk melindungi kepentingankepentingan orang dalam masyarakat.
Hukum tidak lain hanyalah merupakan sarana bagi pemerintah atas tangantangan yang berkuasa untuk mengerahkan cara berpikir dan bertindak dalam rangka kebijakan tujuan nasional. Dalam kediriannya secara intern tidak ada sangkut-paut dengan "kaidah" dan "kebenaran" dalam makna dan hakiki yang sebenarnya, dalam rangka konseptualisasi hukum selalu berpihak, selalu berwarna dan memang yang terpancangdalam kamus hukum hanya dirasakan dan dialami, bermakna dan berwujud relatif serta karakter dari sosial, budaya, struktural dan agama sekalipun. Agar masyarakat siap memakai hukum positif, perlu mempelajari manajemen hukum dan kultur hukum. Sebab sistem hukum terurai dalam tiga komponen yaitu : (1) Substansi, (2) Struktur dan (3) Kultur. Manajemen hukum memikirkan bagaimana mendayagunakan sumber daya dalam masyarakat untuk mengatur masyarakat melalui hukum. Kultur hukum adalah nilai dan sikap dalam masyarakat mengenai hukum.
Untuk menganalisa lebih tajam apa sebenarnya hukum, maknanya, peranannya, dampaknya dalam proses interaksi dalam masyarakat, perlu dipelajari 10 aspek penganalisa yaitu :
1) Jangan mengindentifikasikan "hukum" dengan "kebenaran keadilan".
2) Tidak dengan sendirinya harus adil dan benar.
3) Hukum tetap mengabdikan diri untuk menjamin kegiatan masa sistem dan bentuk pemerintahan.
4) Meskipun mengandung unsur keadilan atau kebaikan tidak selamanya disambut dengan tangan terbuka.
5) Hukum dapat diidentifikasikan dengan kekuatan atas kekuasaan.
6) Macam-macam hukum terlalu dipukulratakan.
7) Jangan apriori bahwa hukum adat lebih baik dari hukum tertulis.
8) Jangan mencampur-adukkan substansi hukum dengan cara atau proses sampai terbentuk dasar diundangkannya hukum.
9) Jangan mencampur-adukkan "law in activis" dengan "law in books" dari aparat penegak hukum.
10) Jangan inenganggap sama aspek terjang penegak hukum dengan hukum.
Oleh karena itu hukum tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan faktor sosial budaya dan struktur negara, dan masyarakat tidak mungkin bermakna dan berada t,..1pa hukum, mulai bayi sampai dewasa, menikah dan meinggal dunia perlu ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya, bahkan "masuk surga" sekalipun.
Bagi masyarakat modern atau masyarakat primitif, hukum akan selalu berfungsi, sebab hukum dapat diartikan sebagai hukum tertulis dan tidak tertulis. Tidak tertulisnya hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan tidak mengurangi keberadaan dan kehadiran hukum. Hanya bentuk, perwujudan dan penampilannya yang tidak dapat dibayangkan seperti pada masyarakat sekarang.
Apakah hukum itu dalam embrionya bertumbuh dari cara (usage) menuju ke kebiasaan (folk-ways), terus ke kelakuan (costum), untuk kemudian ke hukum adat, dan entah dari tahap mana dan kapan hukum tertulis menampakkan diri. Dalam menganalisa adanya pencampur-adukan menganalisir hukum sampai diungkapkannya hukum, perlu dimiliki pengetahuan sosial, budaya dan struktur masyarakat Indonesia serta melepaskan diri dari prasangka atau praduga tak bersalah.
Dalam pemahaman sosiologis, hadirnya hukum adalah untuk diikuti atau dilanggar. Tetapi ada perilaku yang tidak sepenuhnya digolongkan kepada mematuhi hukum atau melanggar hukum yaitu penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial lebih luas daripada pelanggaran hukum, yaitu perbuatan yang tidak sesuai dengan kaidah yang ada sebagai unsur yang membentuk tatanan sosial. Penyimpangan sosial tidak segera mempunyai arti pelanggaran hukum, dapat pula mengandung arti suatu penafsiran terhadap kaidah hukum yang formal. Hukum sebagai kerangka luar, lebih banyak memuat stereotip perbuatan daripada diskripsi mengenai perbuatan itu sendiri; akan berhadapan dengan tatanan di dalam daripada kehidupan sosial yang lebih substansial sifatnya, sehingga orang cenderung untuk memberikan penafsirannya sendiri terhadap hukum, dan yang demikian lalu hanya berfungsi sebagai pedoman saja. Penafsiran itu membuat hukum menjadi terang terhadap keadaan kongkrit dalam masyarakat. Antara penyimpangan sosial dan hukum terdapat hubungan yang erat, di mana hukum diminta bantuan untuk mencegah dan menindak terjadinya penyimpangan. Ancaman pidana terhadap pencurian, pembunuhan, penggelapan dan sebagainya adalah contoh-contoh dari pengangkatan perilaku sosial yang menyimpang ke dalam hukum. Tetapi tidak semua bentuk penyimpangan sosial dapat diangkat menjadi hukum, sebab ada persyaratan minimum etis, artinya ada ambang batas bagi pencantumannya ke dalam hukum seperti perilaku kebenaran pada anak-anak muda. Akhirnya, dapatlah dikatakan mudah untuk menilai hukum, perlu waktu panjang, bertahap dan hukum ingin memanusiakan manusia itu sendiri.
B. NEGARA
Negara merupakan alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat.
Oleh karena itu, sebagai organisasi, negara dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan serta dapat menetapkan tujuan hidup bersama. Dengan perkataan lain, negara mempunyai
2 tugas utama, yaitu :
1) Mengatur dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat yang bertentangan satu sama lainnya.
2) Mengatur dan menyatukan kegiatan manusia dan golongan untuk menciptakan
tujuan bersama yang disesuaikan dan diarahkan pada tujuan negara.
Dengan demikian,
sebagai organisasi, negara mempunyai kekuasaan yang paling kuat dan teratur.
a) Sifat-sifat Negara.
Sebagai organisasi kekuasaan tertinggi, negara mempunyai sifat khusus yang tidak melekat pada organisasi lain. Sifat tersebut melekat pada
negara karena penjelmaan (Manifestasi) dari
kedaulatan yang dimiliki. Adapun sifat tersebut adalah
:
1) Sifat memaksa, artinya negara mempunyai
kekuasaan untuk menggunakan kekerasan fisik secara legal agar tercapai
ketertiban dalam masyarakat dan mencegah timbulnya anarkhi.
2) Sifat monopoli,artinya negara mempunyai hak
kuasa tunggal dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat.
3) Sifat mencakup semua, artinya semua peraturan
perundang-undangan mengenai semua orang tanpa kecuali.
b) Bentuk Negara
Dari erat tidaknya serta sifat hubungan suatu negara ke dalam maupun ke luar, dapat kita bedakan antara bentuk negara dan bentuk kenegaraan. Disebut bentuk
negara jika hubungan suatu negara ke dalam (dengan daerahdaerahnya) maupun ke luar (dengan negara lain)
ikatannya merupakan suatu negara.
Sedang bentuk kenegaraan ialah jika hubungan ke dalam maupun ke luarnya, ikatannya merupakan suatu negara.
Dalam teori modern sekarang ini, bentuk negara yang terpenting adalah: Negara Kesatuan dan Negara Serikat.
Dalam teori modern sekarang ini, bentuk negara yang terpenting adalah: Negara Kesatuan dan Negara Serikat.
1) Negara Kesatuan (Unitarisme)
Adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat, di mana kekuasaan untuk mengurus seluruh permerintah dalam negara itu berada pada Pusat.
2) Negara Serikat (negara Federasi)
Adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat, di mana kekuasaan untuk mengurus seluruh permerintah dalam negara itu berada pada Pusat.
2) Negara Serikat (negara Federasi)
Adalah negara yang terjadi dari penggabungan beberapa negara yang semula berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka, berdaulat, ke dalam suatu ikatan kerjasama yang efektif untuk melaksankaan urusan secara bersama. Setelah menggabungkan diri, masing-masing negara itu
melepaskan sebagian kekuasaan dan menyerahkan kepada Negara
Federalnya. Kekuasaan yang diserahkan disebutkan secara saw persatu (liminatif) dan
hanya kekuasaan yang disebut itulah yang
diserahkan. Dengan demikian, kekuasaan asli ada pada Negara
Bagian. Dan biasanya yang diserahkan adalah urusan luar negeri, pertahanan negara dan keuangan.
c) Unsur-unsur Negara
c) Unsur-unsur Negara
Untuk dapat
dikatakan sebagai suatu negara, negara harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
(1) harus ada wilayahnya
(2) harus ada rakyatnya
(3) harus ada pemerintahnya
(4) harus ada tujuannya
(5) mempunyai kedaulatan
l. Harus ada wilayahnya
(1) harus ada wilayahnya
(2) harus ada rakyatnya
(3) harus ada pemerintahnya
(4) harus ada tujuannya
(5) mempunyai kedaulatan
l. Harus ada wilayahnya
Setiap negara mesti mempunyai suatu wilayah tertentu. Wilayah ini terdiri dari wilayah daratan, wilayah perairan (yang ditentukan dengan perjanjian) dan wilayah udara (di atas darat dan lautan). Batas-batas wilayah suatu negara ditentukan dalam perjanjian dengan negara lain. Perjanjian itu disebut Perjanjian Antar negara (Internasional). Apabila dilakukan antara dua negara disebut PerjanjianBilateral, dan apabila dilakukan oleh banyak negara disebut Perjanjian Multilateral.
2. Harus ada rakyatnya
Yang termasuk suatu negara adalah semua orang yang ada di dalam wilayah negara. Dengan demikian rakyat suatu negara dapat terdiri dari berbagai macam golongan. Namun demikian, setiap orang yang ada dalam wilayah negara itu harus patuh kepada hukum dan Pemerintah Negara tersebut.
Yang termasuk suatu negara adalah semua orang yang ada di dalam wilayah negara. Dengan demikian rakyat suatu negara dapat terdiri dari berbagai macam golongan. Namun demikian, setiap orang yang ada dalam wilayah negara itu harus patuh kepada hukum dan Pemerintah Negara tersebut.
3. Harus ada pemerintahnya
Sebagai suatu organisasi, maka negara harus mempunyai badan yang berhak mengatur dan berwenang merumuskan serta melaksanakan peraturan yang mengikat warganya, yang disebut Pemerintah.
4. Harus ada tujuannya
4. Harus ada tujuannya
Bahwasanya negara itu mempunyai tujuan adalah merupakan hal yang jelas, bahkan tujuan negara itu merupakan suatu hal yang sangat penting, karena segala sesuatu dalam negara itu akan diarahkan untuk mencapai apa
yang menjadi tujuan tersebut. Atau dapat pula dikatakan bahwa negara itu merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan bersama dari
anggota-anggotanya.
5. Mempunyai kedaulatan/kemerdekaan
5. Mempunyai kedaulatan/kemerdekaan
Kedaulatan merupakan unsur penting dalam suatu negara, karena kedaulatan ini yang akan membedakan organisasi negara dan organisasi/ perkumpulan lainnya. Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu negara
mempunyai kekuasaan tertinggi untuk memaksa rakyatnya
mentaati dan melaksanakan peraturan-peraturannya (kedaulatan ke dalam). Di samping itu,
negara juga harus mempertahankan kemerdekaannya yang telah dimiliki serta mempertahankan kedaulatan ke luar (external sovereighnity). Untuk itu negara menuntut
kesetiaan yang mutlak dari warganya.
Sampai sekarang tidak ada kesepakatan di antara para ahli sendiri tentang
apa arti
sebenarnya daripada hukum. Hal ini dapat dimengerti, bila disadari betapa luasnya
lingkup hukum, yang meliputi semua bidang kehidupan masyarakat. Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto mencoba menghimpun berbagai pengertian yang
dibenarkan oleh masyarakat terhadap hukum, dengan hasil sebagai berikut :
1) Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun
secara sistematis atas dasar kekuatan
pemikiran.
2) Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem
ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
3) Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perilakuan yang pantas atau diharapkan.
4) Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan
proses perangkat kaidahkaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan
tempat tertentu serta berbentuk tertulis.
5) Hukum sebagai petugas, yakni priibadi-priibadi yang merupakan kalangan yang berhubugnan erat dengan penegakan hukum
(law-enforcement officer).
6) Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut "... decision-making not
strictly governd by legal rules, but rather with significant element of personal
judgement" (Wayne Laa Favre, 1964) oleh karena itu yang dimaksudkan dengan
diskreksi adalah "authority conferred by law to act in certain conditions situations in
accordance on
afficial's or an agency's own conside red judgement and conscience. it is an ide of morals, belong in to
the twilight zone between law and morals (Rescoe Pounds, 1960).
7) Hukum sebagai proses pemerintah, yaitu proses sehubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem
kenegaraan. Artinya, hukum dianggap sebagai "a command or prohibition
emanating from the authorized agency of the state... and backed up by the authority
and the capacity to exercise force which is characteristic of the state.
8) Hukum sebagai sikap - tindak konsisten atau perikelakuan yang teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
9) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk (G. Duncan Mitchell: 1977).
8) Hukum sebagai sikap - tindak konsisten atau perikelakuan yang teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
9) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk (G. Duncan Mitchell: 1977).
Pentingnya mengadakan identifikasi terhadap pelbagai arti hukum adalah untuk mencegah terjadinya kesimpangsiuran di dalam melakukan studi terhadap hukum, maupun di dalam penerapannya.
Lagi pula arti hukum pada suatu kurun waktu tertentu tidak akan lepas; dari pemikiran-pemikiran lain yang hidup pada zaman tersebut. Terutama sekali, hukum mempunyai hubungan yang erat dengan negara, sehingga setiap telaah terhadap negara akan ikut menentukan tentang apa yang dimaksud dengan hukum. Sedangkan pandangan terhadap hukum dan negara berkaitan erat dengan pemikiran tentang semua gejala yang ada, yaitu suatu sistem filsafat tertentu.
Lagi pula arti hukum pada suatu kurun waktu tertentu tidak akan lepas; dari pemikiran-pemikiran lain yang hidup pada zaman tersebut. Terutama sekali, hukum mempunyai hubungan yang erat dengan negara, sehingga setiap telaah terhadap negara akan ikut menentukan tentang apa yang dimaksud dengan hukum. Sedangkan pandangan terhadap hukum dan negara berkaitan erat dengan pemikiran tentang semua gejala yang ada, yaitu suatu sistem filsafat tertentu.
Pendapat para sarjana mengenai hubungan antara negara dan hukum pada garis besarnya dapat disederhanakan dalam tiga pendapat :
a) bahwa negara lebih tinggi daripada hukum, ini
merupakan pandangan yang bersumber pada teori absolutisme negara;
b) negara, sebenarnya adalah identik atau sama
dengan hukum, ini adalah pandangan yang menolak setiap dualisme antara
negara dan hukum, dan
c) negara harus tunduk pada hukum, pendapat ini
dikemukakan oleh penganut teori kedaulatan hukum
Salah seorang di
antara berpendapat bahwa negara mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum adalah Puchta, murid seorang pemikir terkenal di bidang hukum yang bernama Friedrick Von
Savigny. Savigny berpendapat bahwa
hukum tumbuh bersama pertumbuhan bangsa (rakyat), menjadi kua/ bersama dengan kekuatan bangsa dan
akhirnya mati (punah) ketika suatu
bangsa kehilangan kebangsaan.I Puchta menerima pendapat gurunya bahwa hukum
bersumber dari jiwa bangsa (volkgeist). Lebih jauh lagi Puchta
berpendapat bahwa hukum timbul dari jiwa bangsa secara langsung dalam
pelaksanaannya (dalam adat-istiadat orang-orang); secara tidak langsung hukum timbul dari jiwa bangsa melalui
undang-undang (yang dibentuk oleh negara) dan melalui ilmu pengetahuan
hukum (yang dibentuk oleh negara) dan melalui ilmu pengetahuan hukum
(yang merupakan karya ahli-ahli hukum). Keyakinan hukum
yang hidup jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat
yang terorganisasi dalam negara. Bahkan adat-istiadat bangsa maupun
hasil pemikiran ahli-ahli hukum hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara. Teori inilah yang sebenarnya berakar dari teori absolutisme negara dan positivisme yuridis.2 Pandangan Puchta ini senada dengan pendapat Theodor Geiger, yang menelaah hukum melalui teori-teori sosiologi. Geiger berpendapat bahkan satu-satunya hukum yang berlaku
adalah hukum yang berasal dari negara.
Hans Kelsen, yang mencoba untuk menyusun suatu teori murni tentang hukum, menolak pandangan dualisme terhadap negara dan hukum. Menurut pendapatnya hukum dan negara adalah identik, karena negara tidak lain daripada sistem sikap tindak manusia dan ketaatan dari paksaan sosial. Ketaatan pemaksa ini tidak beda dengan tata hukum, karena dalam masyarakat hanya ada satu, dan bukan dua ketaatan pemaksa
yang sah pada satu waktu. Jadi negara tidak lebih tinggi daripada hukum, karena bila demikian
berarti pendewaan
terhadap negara dan hukum tidak lebih tinggi dari negara, seperti pendapat penganut aliran hukum alam yang ditentang oleh Kelsen.
Di atas sudah
diuraikan bahwa Krabbe berpendapat, rakyat mentaati peraturan negara bukan karena paksaan (oleh
kekuasaan) negara, tetapi karena mereka memiliki kesadaran hukum. Kesadaran hukum rakyatlah yang merupakan cumber kekuasaan negara. Dengan
demikian negara bukanlah pemegang kedaulatan tertinggi karena negara pun harus juga tunduk kepada
hukum. Jadi
dalam menjalankan kebijaksanaan, negara terikat pada normanorma keadilan. Teori kedaulatan hukum
inilah yang menjiwai prinsip negara hukum. Negara hukum dalam arti sempit, yakni negara hukum liberal,
ditandai dengan dua ciri :
1) Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
2) Pemisahan kekuasaan, antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif.
Negara hukum dalam arti formal, lebih luas
daripada negara hukum liberal,
mengandung empat unsur sebagai berikut :
1) Perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2) Pemisahan kekuasaan;
3) Setiap tindakan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang;
4) Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri, untuk aparat pemerintah yang melanggar batas-batas
kewenangannya.
A.V. Dicey juga mengembangkan teori kedaulatan hukum di Inggris yang sedikit berbeda dengan prinsip negara hukum yang berkembang di Eropa Kontinental. Menurut sistem Anglo Saxon, dikenal the rule of law yang memiliki tiga unsur :
A.V. Dicey juga mengembangkan teori kedaulatan hukum di Inggris yang sedikit berbeda dengan prinsip negara hukum yang berkembang di Eropa Kontinental. Menurut sistem Anglo Saxon, dikenal the rule of law yang memiliki tiga unsur :
1) Supremasi dari hukum, artinya bahwa yang
mempunyai kekuasaan tertinggi dalam negara hukum (kedahulatan hukum);
2) Persamaan kedudukan di depan hukum bagi
setiap orang;
3) Konstitusi bukan merupakan (satu-satunya) sumber bagi hak-hak
asasi manusia. Jika hak-hak asasi manusia
dirumuskan dalam konstitusi, hal ini
hanya sebagai penegasan bahkan hak asasi tersebut harus dilindungi.
C. PEMERINTAH
C. PEMERINTAH
Pemerintah merupakan salah satu unsur penting daripada negara. Tanpa Pemerintah, maka negara tidak ada yang mengatur. Karena Pemerintah merupakan roda negara, maka tidak akan mungkin ada suatu negara tanpa Pemerintah.
Dalam pengertian umum sering dicampuradukkan pengertian Pemerintah dan pemerintahan, seakan-akan keduanya adalah sama. Padahal jelas
keduanya berbeda. Untuk membedakan kedua istilah tersebut, maka istilah tersebut harus kita bedakan dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Pemerintahan
dalam arti luas :
— Segala kegiatan atau usaha yang terorganisir,
bersumber pada kedaulatan dan berlandaskan dasar negara, mengenai rakyat/penduduk dan
wilayah (negara itu) demi tercapainya tujuan
negara.
— Segala tugas, kewenangan, kewajiban negara
yang harus dilaksanakan menurut dasar-dasar tertentu (suatu negara)
demi tercapainya tujuan negara.
Kalau kita mengikuti pemisahan kekuasaan Montesquieu, maka meliputi bidang legislatif, eksekutif, yudikatif. Kalau kita mengikuti
Vollenhoven maka meliputi bidang wetgeving, rechtspraak,
politie, bestuur.
Pemerintahan dalam arti sempit
Pemerintahan dalam arti sempit
— Kalau kita mengikuti Montesquieu, maka hanyalah tugas, kewajiban dan kekuasaan negara di bidang eksekutif.
— Kalau kita mengikuti Vollenhoven,
kekuasaan negara di bidang bestuur.
Mengikuti pengertian pemerintahan dalam arti luas dan sempit tersebut, maka :
Pemerintah dalam arti luas : Adalah menunjuk kepada alat perlengkapan negara seluruhnya (aparatur negara) sebagai badan yang melaksanakan seluruh tugas/kekuasaan negara atau melaksanakan pemerintahan dalam arti luas.
Pemerintah dalam arti sempit : Adalah hanya menunjuk kepada alat perlengkapan negara yang melaksanakan pemerintahan dalam arti sempit.
Mengikuti pengertian pemerintahan dalam arti luas dan sempit tersebut, maka :
Pemerintah dalam arti luas : Adalah menunjuk kepada alat perlengkapan negara seluruhnya (aparatur negara) sebagai badan yang melaksanakan seluruh tugas/kekuasaan negara atau melaksanakan pemerintahan dalam arti luas.
Pemerintah dalam arti sempit : Adalah hanya menunjuk kepada alat perlengkapan negara yang melaksanakan pemerintahan dalam arti sempit.
Di dalam
penjelasan UUD 1945 disebutkan dengan tegas, bahwa Presiden adalah penyelenggara pemerintahan yang tertingi di
bawah Majelis (MPR adalah pemegang
kekuasaan tertinggi). Hal ini berarti bahwa Presiden bertanggung jawab dan berkuasa menjalankan pemerintahan
negara. Untuk itu Presiden menunjuk
para Menteri sebagai pembantunya. Para menteri ini mempunyai pengaruh
yang besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara mengenai
departemennya. Presiden dan para Menteri inilah Pemerintah clam arti sempit.
Walaupun demikian, teori Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan ini tidak
sepenuhnya dianut di Indonesia. Karena teori ini mengajarkan bahwa masing-masing bidang kekuasaan ini berdiri
sendiri-sendiri dan tidak mencampuri
urusan bidang lainnya. Sedangkan menurut UUD 1945, Indonesia menganut
sistem pembagian kekuasaan (bukan pemisahan), sehingga dapat terjadi satu bidang tugas dilakukan oleh lebih
dari satu alat perlengkapan negara.
Atau sebaliknya, satu alat perlengkapan negara melaksanakan lebih dari satu bidang tugas.
2. WARGANEGARA DAN NEGARA
Unsur penting suatu negara yang
lain adalah rakyat. Tanpa rakyat, maka negara itu
hanya ada dalam angan-angan. Termasuk rakyat suatu negara adalah meliputi semua orang yang bertempat tinggal di dalam wilayah kekuasaan negara tersebut dan tunduk pada kekuasaan negara tersebut. Dalam
hubungan ini rakyat
diartikan sebagai kumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persatuan dan yang bersama-sama
mendiami suatu wilayah tertentu.
Menurut Kansil, orang-orang yang berada dalam wilayah suatu negara
itu dapat dibedakan menjadi :
a. Penduduk ialah mereka yang telah memenuhi
syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh peraturan negara yang bersangkutan, diperkenankan mempunyai tempat tinggal pokok (domisili) dalam wilayah negara
itu.
Penduduk ini
dapat dibedakan menjadi 2 lagi, yaitu :
1) Penduduk Warga Negara atau Warga negara adalah penduduk yang sepenuhnya dapat diatur oleh Pemerintah negara
tersebut dan mengakui Pemerintahnya sendiri;
2) Penduduk bukan Warga negara atau Orang Asing adalah penduduk yang bukan warga negara.
b. Bukan
Penduduk ialah mereka yang berada dalam wilayah suatu negara untuk sementara waktu dan yang tidak
bermaksud bertempat tinggal di wilayah negara
tersebut.
1) Asas Kewarganegaraan
Adapun untuk menentukan siapa-siapa yang menjadi warganegara, digunakan 2 kriteria, yaitu :
(1) Kriterium kelahiran. Berdasarkan
kriterium ini, masih dibedakan lagi menjadi 2, yaitu
:
(a) Kriterium kelahiran menurut asas keibubapaan atau disebut pula "Ius Sanguinis". Di dalam asas ini,
seorang memperoleh kewarganegaraan suatu negara berdasarkan asas kewarganegaraan orang tuanya, di manapun is dilahirkan.
(b) Kriterium kelahiran menurut asas tempat kelahiran atau "Ius Soli". Di dalam asas ini, seseorang
memperoleh kewarganegaraannya
berdasarkan negara tempat di mana dia dilahirkan, meskipun orang tuanya bukan warga negara dari negara tersebut.
Kedua prinsip kewarganegaraan ini digunakan secara bersama dengan
mengutamakan salah satu, tetapi tanpa meniadakan yang satu.
Konflik antaralus Soli dan Ius Sanguinis akan menyebabkan terjadinya
kewarganegaraan rangkap (bipatride) atau tidak mempunyai
kewarganegaraan sama sekali (a-patride).
Berhubung denganitu, maka untuk menentukan kewarganegaraan
seseorang digunakan 2 stelsel kewarganegaraan (di samping kedua asas
di atas) yaitu stelsel aktif dan stelsel pasif.
Kedua prinsip kewarganegaraan ini digunakan secara bersama dengan
mengutamakan salah satu, tetapi tanpa meniadakan yang satu.
Konflik antaralus Soli dan Ius Sanguinis akan menyebabkan terjadinya
kewarganegaraan rangkap (bipatride) atau tidak mempunyai
kewarganegaraan sama sekali (a-patride).
Berhubung denganitu, maka untuk menentukan kewarganegaraan
seseorang digunakan 2 stelsel kewarganegaraan (di samping kedua asas
di atas) yaitu stelsel aktif dan stelsel pasif.
Pelaksanaan kedua stelsel ini kita bedakan
dalam
— hak opsi, yaitu hak untuk memilih kewarganegaraan (pelaksanaan stelsel aktif);
— hak repudiasi, ialah hak untuk menolak kewarganegaraan (pelaksanaan stelsel pasif).
(2) Naturalisasi atau pewarganegaraan, adalah
suatu proses hukum yang menyebabkan seseorang dengan syarat-syarat
tertentu mempunyai kewarganegaraan negara lain.
Di Indonesia, siapa-siapa yang menjadi warganegara telah disebutkan di dalam pasal 26 UUD 1945, yaitu :
(1) Yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2) Syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undanng-undanng. Pelaksanaan
selanjutnya dari pasal 26 UUD 1945 ini diatur dalam UU Nomor 62
Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang
pasal 1-nya menyebutkan :
Warga negara Republik Indonesia
ialah :
a. Orang-orang yang berdasarkan
perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau
peraturan-peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945
sudah warga negara Republik Indonesia.
b. Orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, sdorang warga negara RI, dengan pengertian bahwa kewarganegaraan karena RI tersebut dimulai sejak adanya hubungan hukum kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur 18 tauhn atau sebelum ia kawin pada usia dibawah umur 18 tahun
c. Anak yang lahir dalam 300 hari setelah ayahnya meniiiggal dunia, apabila ayah itu pada waktu meninggal dunia warga negara RI.
d. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warganegara RI, apabila ia pada waktu itu tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya.
e. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga negara RI, jika ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama tidak diketahui kewarganegaraan ayahnya.
f. Orang yang lahir di dalam wilayah RI selama kedua orang tuanya tidak diketahui.
g. Seseorang yang diketemukan di dalam wilayah RI selama tidak diketahui kedua orang tuanya.
h. Orang yang lahir di dalam wilayah RI, jika kedua orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama kewarganegaraan kedua orang tuanya tidak diketahui.
i. Orang yang lahir di dalam wilayah RI yang pada waktu lahirnya tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya dan selama ia tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya itu.
J. Orang yang mempunyai kewarganegaraan RI menurut aturan undang-undang ini.
b. Orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, sdorang warga negara RI, dengan pengertian bahwa kewarganegaraan karena RI tersebut dimulai sejak adanya hubungan hukum kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur 18 tauhn atau sebelum ia kawin pada usia dibawah umur 18 tahun
c. Anak yang lahir dalam 300 hari setelah ayahnya meniiiggal dunia, apabila ayah itu pada waktu meninggal dunia warga negara RI.
d. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warganegara RI, apabila ia pada waktu itu tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya.
e. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga negara RI, jika ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama tidak diketahui kewarganegaraan ayahnya.
f. Orang yang lahir di dalam wilayah RI selama kedua orang tuanya tidak diketahui.
g. Seseorang yang diketemukan di dalam wilayah RI selama tidak diketahui kedua orang tuanya.
h. Orang yang lahir di dalam wilayah RI, jika kedua orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama kewarganegaraan kedua orang tuanya tidak diketahui.
i. Orang yang lahir di dalam wilayah RI yang pada waktu lahirnya tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya dan selama ia tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya itu.
J. Orang yang mempunyai kewarganegaraan RI menurut aturan undang-undang ini.
Selanjutnya di dalam Penjelasan Umum UU No.62 tahun 1958 ini
dikatakan
bahwa kewarganegaraan RI diperoleh :
a. karena kelahiran
b. karena pengangkatan
c. karena dikabulkan permohonan
d. karena pewarganegaraan
e. karena atau sebagai akibat dari perkawinan
f. karena turut ayah/ibunya
g. karena pernyataan.
Selanjutnya di
dalam Penjelasan Pasal 1 UU Nomor 62 tahun 1958 disebutkan :
b,c,d dan e. :
Sudah selayaknya keturunan warga negara RI adalah WNI.
Sebagaimana telah diterangkan di atas dalam Bab I huruf a yang menentukan status anak ialah ayahnya. Apabila tidak ada hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya atau apabila ayah tidak mempunyai kewarganegaraan ataupun selama tidak diketahui kewarganegaraannya, maka barulah ibunya yang menentukan status anak itu. Hubungan hukum kekeluargaan antara ibu dan anak selalu ada , kalau ayahnya mengadakan hukum secara yuridis. Anak baru turut kewarganegaraan ayahnya, setelah ayah itu mengadakan hubungan hukum kekeluargaan dan apabila hubungan hukum itu diadakan setelah anak itu menjadi dewasa, maka is tidak turut kewarganegaraan ayahnya.
f,g dan h.
b,c,d dan e. :
Sudah selayaknya keturunan warga negara RI adalah WNI.
Sebagaimana telah diterangkan di atas dalam Bab I huruf a yang menentukan status anak ialah ayahnya. Apabila tidak ada hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya atau apabila ayah tidak mempunyai kewarganegaraan ataupun selama tidak diketahui kewarganegaraannya, maka barulah ibunya yang menentukan status anak itu. Hubungan hukum kekeluargaan antara ibu dan anak selalu ada , kalau ayahnya mengadakan hukum secara yuridis. Anak baru turut kewarganegaraan ayahnya, setelah ayah itu mengadakan hubungan hukum kekeluargaan dan apabila hubungan hukum itu diadakan setelah anak itu menjadi dewasa, maka is tidak turut kewarganegaraan ayahnya.
f,g dan h.
Menjalankan ius soli supaya
orang-orang yang lahir di Indonesia tidak ada yang tanpa kewarganegaraan.
2) Hak dan
Kewajiban Warga Negara Indonesia
Apabila kita melihat pasal-pasal
dalam UUD 1945, maka akan dapat kita temukan
beberapa ketentuan tentang hak-hak warga negara, misalnya, pendidikan, pertahanan dan kesejahteraan sosial.
Pasal 27 (2) Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 30 (1) Tiap-tiap warga negara berhak ... ikut serta dalam usaha
pembelaan
negara.
Pasal 31 (1) Tiap-tiap
warga negara berhak mendapatkan
pengajaran.
Selain
pasal-pasal yang menyebutkan hak warga negara maka terdapat
pula beberapa pasal yang menyebutkan tentang kemerdekaan warga negara :
Pasal 27 (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam
hukum dan pemerintahan ... (hak memilih dan dipilih).
Di samping itu dua ketentuan dengan tegas menyebutkan tentang kewajiban warga negara :
Pasal 27 (1) Segala warga negara wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 30 (1) Tiap-tiap warga negara wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
Pembedaan penduduk suatu negara menjadi warga negara dan orang asing tersebut, pada hakikatnya adalah untuk membedakan "hak dan
kewajiban"nya saja.
Orang asing di Indonesia tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana warga negara Indonesia. Mereka tidak mempunyai hak untuk memilih dan
dipilih, hak dan kewajibanmempertahankan dan membela negara, namun mereka mempunyai kewajiban untuk tunduk dan
patuh pada peraturan, dan berhak
mendapatkan perlindungan atas diri dan harta bendanya.
Walaupun hak dan kewajiban warga negara di dalam UUD 1945 hanya dirumuskan dalam beberapa pasal saja, namun semuanya telah disebut di
atas hal-hal yang pokok. Ini sesuai dengan sifat
UUD 1945 yang hanya mengatur hal-hal yang pokok saja.
Karena UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok, maka untuk pelaksanaan selanjutnya harus ada undang-undang yang akan menentukan lebih jauh, bagaimana hak-hak dan kewajiban tersebut di atas harus dilaksanakan. Tanpa adanya undang-undang semacam ini, maka ketentuanketentuan
yang ada pada pembukaan, batang tubuh maupun penjelasan UUD 1945 akan
kehilangan artinya dan hanya tinggal merupakan rangkaian hurufhuruf mati saja.
Sebagai contoh pasal 28 mengatur tentang kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat dengan tulisan dan lisan. Ketiga hak ini adalah suatu negara demokrasi. Kebebasan berserikat tidak
akan ada artinya bila tidak ada hak
untuk mengeluarkan pendapat. Dalam UUD sendiri telah disebutkan bahwa hal tersebut harus diatur lebih
lanjut dengan undang-undang. Sebagai
pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat, pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah menyusun
Undang-undang Nomor 3 tahun 1975.
Sedangkan kebebasan-kebebasan lain yang juga diatur pada pasal 23 sampai sekarang belum diatur lebih jauh,
sehingga sering menimbulkan berbagai penafsiran. Kebebasan berserikat
tersebut terutama adalah kebebasan untuk
mendirikan partai politik. Pengakuan terhadap partai tersebut oleh pemerintah
tidak boleh sama sekali dikaitkan dengan program partai tersebut apakah mendukung program pemerintah atau tidak.
Jadi suatu partai politik bebas untuk
menentukan sikapnya, apakah akan menjadi pendukung setia.
Kebebasan ini berarti pula bahwa pemerintah sama sekali tidak memilkiki hak untuk melarang berdirinya suatu partai politik baru, karena lapangan
semacam ini jelas
bertentangan dengan asas kebebasan berserikat yang dijamin oleh pasal 28 tersebut. Jadi sesuai dengan
tingkatan/hierarki perundangundangan, suatu undang-undang isinya tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang
Dasar yang kedudukannya lebih tinggi, dan menjadi sumberbagi undang-undang tersebut. Tentu saja ada
pembatasan bahwa partai yang didirikan harus tidak bertentangan dengan nilai
demokrasi yang justru terkandung dalam
pasal 28 UUD 1945.
Pasal 27 ayat 1 menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Ini berarti bahwa tidak ada warga negara yang memiliki hak lebih banyak atau lebih sedikit daripada warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Karena itu
pemerintah berkewajiban untuk menyediakan lapangan kerja
baru dengan syarat-syarat yang sesuai dengan kemanusiaan.
Pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing, dan beribadat menurut agama
dan kepercayaannya. "Penduduk" yang dimaksud di sini adalah siapa
saja yang berdomisili di wilayah Indonesia, baik is warga negara ataupun orang asing.
Tentu saja pasal ini harus dihubungkan dengan ayat satunya, sehingga
kebebasan tersebut adalah dalam hubungannya dengan agama yang mempercayai keesaan Tuhan.
Begitu pula pasal 31, 32, 33 dan 34
menjamin hak-hak terhadap pengajaran, perlindungan kultural, ekonomi dan
kesejahteraan sosial.
Jadi meskipun ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 tidak terlalu banyak, tetapi karena hal-hal tersebut meliputi pokok-pokok saja yang kemudian pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan undang-undang, maka pengaturan tersebut sudah cukup memadai.
Tetapi yang lebih penting lagi adalah apa yang dinyatakan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa :
"Yang penting adalah semangat para penyelenggara negara semangat parapemimpin pemerintahan meskipun UUD itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintah baik, UUD itu tentu akan merintangi
jalannya negara." Sebaliknya, meskipun dalam UUD dicantumkan perumusan hak-hak dan kewajiban warga negara yang
sebanyak-banyaknya, hal tersebut akan
menjadi sia-sia bila penyelenggara negaranya, para pemimpin pemerintahannya memang tidak baik, dalam arti
memang tidak mempunyai itikad untuk memberi kesempatan kepada warga
negara untuk menikmati hakhaknya maupun
melaksanakan kewajibannya, meskipun hak-haknya maupun melaksanakan kewajibannya, meskipun hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tersebut jelas
sudah disebutkan dengan cukup memadai dalam UUD 1945.
Contoh Kasus Warga Negara dan Negara
Kasus korupsi yang dilakukan para petinggi negara, kasus ini bisa dikatakan menyankut kehidupan bermasyarakat karena korupsi yang dilakukan di indonesia diperbuat oleh para petinggi negara. Hal ini membuat para masyarakat berfikir dua kali untuk mempercayai para petinggi mereka. Sedangkan yang kita ketahui, suatu negara biasanya dipimpin oleh para petinggi. Apabila para petinggi kita suka melakukan korupsi, maka kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita dapat berpengaruh juga. Hal mungkin yang terjadi, para masyarakat menjadi tidak jujur dan suka korupsi kecil-kecilan yang lama-kelamaan menjadi kebiasaan dan berubah menjadi korupsi besar-besaran seperti yang dilakukan para petinggi negara kita.
Contoh Kasus Warga Negara dan Negara
Kasus korupsi yang dilakukan para petinggi negara, kasus ini bisa dikatakan menyankut kehidupan bermasyarakat karena korupsi yang dilakukan di indonesia diperbuat oleh para petinggi negara. Hal ini membuat para masyarakat berfikir dua kali untuk mempercayai para petinggi mereka. Sedangkan yang kita ketahui, suatu negara biasanya dipimpin oleh para petinggi. Apabila para petinggi kita suka melakukan korupsi, maka kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita dapat berpengaruh juga. Hal mungkin yang terjadi, para masyarakat menjadi tidak jujur dan suka korupsi kecil-kecilan yang lama-kelamaan menjadi kebiasaan dan berubah menjadi korupsi besar-besaran seperti yang dilakukan para petinggi negara kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar